Kamis, 13 Januari 2011

NARSISME WAKIL RAKYAT

0



Oleh Yusuf Eko Pambudi (Ex Ketua Hima Akuntansi UNY)

Beberapa bulan lagi Indonesia akan melaksanakan pemilu 2009. Tak kurang dari 38 partai ikut serta memeriahkan pesta demokrasi tersebut. Salah satu fenomena menarik adalah kita dapat melihat partai politik dan calon legislatif berlomba-lomba berjualan tampang lewat spanduk, baliho, papan pengumuman, dan semacamnya.

Teknologi digital dan percetakan telah sangat membantu setiap orang untuk dapat membuat foto diri berukuran besar menjadi baliho, spanduk, dan semacamnya dengan biaya yang meski mahal, namun tetap dapat dijangkau oleh mereka yang berduit. Para calon pejabat yang sedang mengincar posisi penting, baik sebagai anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden di tahun 2009, berlomba-lomba unjuk diri lewat media tersebut untuk menampakkan wajah mereka disertai kalimat-kalimat jargonis yang kerap minim makna.

Tujuan utama pemasangan baliho semacam itu sangatlah jelas: untuk mengenalkan para calon pejabat ataupun para pejabat yang mengincar posisi penting publik, kepada masyarakat luas yang akan menjadi sasaran konstituen mereka. Oleh karena itu, tertampangnya wajah mereka lebih penting dibandingkan visi-misi dan program-program mereka untuk disampaikan kepada masyarakat.

Pola komunikasi poltik semacam ini jelas menonjolkan bentuk fisik seorang tokoh, serta penjejalan sang tokoh ke dalam ingatan masyarakat luas. Tentu saja para politisi tersebut telah belajar dari pemilihan presiden, pilkada dan pemilu sebelumnya dimana paras yang rupawan dari seorang tokoh lebih menentukan kemenangan tokoh-tokoh tersebut dibandingkan faktor-faktor lain. Apalagi belakangan ini dapat kita lihat adanya fenomena para selebriti yang pindah haluan terjun ke dunia politik: menjadi politisi. Kecenderungan semacam ini akan membuat partai politik berusaha menggaet seorang figur selebriti yang telah diketahui khalayak luas untuk menjadi caleg-caleg yang berprospek memenangkan pemilihan. Walaupun banyak dari mereka yang tidak memiliki pengalaman sama sekali untuk terjun di dunia politik.

Fenomena di atas jelas menunjukkan bahwa fungsi representasi dari partai politik masih kalah jauh dibandingkan aktivitas rekrutmen. Seperti kita ketahui betapa gigihnya partai politik dan caleg berlomba-lomba berjualan tampang lewat baliho, spanduk, iklan di media massa, serta dengan berbagai pendekatan lain yang sangat serius kepada target konstituennya. Betapa hebatnya upaya mereka untuk mensukseskan proses rekrutmen dan memperoleh kemenangan dalam konstelasi politik. Masalahnya, kerap kali relasi partai politik dan para caleg semacam ini hanya sebatas jual tampang saat kampanye. Sangat jarang di antara mereka yang terus bersungguh-sungguh merealisasi janji-janjinya saat kampanye jika nanti telah terpilih.

Tak ayal penting bagi masyarakat dan pemilih nanti untuk mampu mengingatkan para caleg dan partai politik pilihan mereka: “berhentilah berpose, mulailah mendengarkan rakyat”. Karena tujuan akhir dari proses demokrasi adalah terwujudnya pemerintahan yang mampu menyerap kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjadikan pemilu tak hanya sebagai ruang berpose bagi para calon wakil rakyat, namun yang terpenting menjadikannya sebagai ajang seleksi bagi wakil rakyat yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan kepentingan rakyat. Kemampuan mendengarkan ini sulit diharapkan pada para politisi yang dalam proses kampanye hanya bisa jual tampang serta berdagang jargon kosong.

Semakin Mahal

Baliho-baliho jual tampang tersebut juga telah menambah mahalnya prosedur demokrasi di negeri ini. Salah satu yang ikut menyumbang pembengkakan biaya tersebut adalah para politisi dan partai politik yang tengah berlomba-lomba memasang wajah mereka di baliho, spanduk, papan pengumuman serta media-media lainnya. Akan sangat menjengkelkan jika boleh jadi, sebagian biaya baliho tersebut dibebankan kepada anggaran negara.

Belum lagi prosedur-prosedur lainnya yang menguras anggaran negara secara luar biasa signifikan. Prosedur–prosedur demokrasi yang kita pilih semenjak tahun 1998, membuat partisipasi politik semakin luas dan transparan. Akan tetapi, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya tinggi. Pilpres secara langsung misalnya, menambah anggaran pemilu dibandingkan pemilu sebelumnya yang belum dikenal pilpres langsung. Demikian juga pilkada langsung, Dalam satu kali pemilihan kepala daerah oleh DPRD misalnya, dapat menyedot anggaran hingga ratusan juta rupiah. Tentu saja biaya ini belum termasuk anggaran para calon untuk urusan money politics

Untuk itu sangat penting bagi kita untuk turut menjadikan pemilu benar-benar sebagai ajang menuju demokrasi yang sejati. Lalu apa langkah-langkah yang harus dilakukan? Yang diperlukan yaitu adnya sinergi bagi semua pihak. Dari pihak negara dan penyelenggara pemilu, diperlukan adanya kendali yang lebih kuat tentang substansi yang harus dipenuhi dalam kampanye. Selama ini, kendali penyelenggaraan kampanye baru sebatas mengelola waktu dan aturan-aturan saat kampanye, bukan memberikan kisi-kisi substansi yang harus dipenuhi saat kampanye tersebut. Selain itu, penting pula bagi negara untuk mengadakan pengawasan yang terencana dan efektif oleh masyarakat atas representasi mereka.

Sedangkan dari partai politik dan para caleg, diperlukan adanya penegasan program-program saat kampanye dan sepanjang masa jabatannya. Selama ini mereka lebih banyak menonjolkan isu-isu jargonis, seperti misal mengklaim diri sebagai yang “jujur, dipercaya dan agamis”. Fenomena semacam ini akan menimbulkan program-program yang tidak diketahui secara detail dan pasti oleh masyarakat sehingga akan dapat membingungkan atau mungkin dapat mengecoh masyarakat terhadap wakil mereka yang telah mereka pilih. Dan yang terakhir, bagi masyarakat pemilih, mereka harus melakukan pengawasan dan berpikir serta bertindak kritis terhadap wakil yang telah dipilih.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting